By : Ida Indiana, S.Pd
Guru SMKN 1 Sumedang
“Ssst….ada orangnya tuh! Kalimat itu yang
terdengar dari kumpulan orang-orang.
Aku lihat mereka seketika itu berhenti bicara.Ada
yang menatap ke arah kami. Nari sedikit tersinggung.
“Hari gini ko masih ada yang ngerumpi
terang-terangan gitu ya”.
“Jangan berprasangka buruk gitu dong, Ri!”
Aku segera menyadarkan Nari dari tudingan
yang tidak mendasar itu.
Jam 11 malam aku baru bisa merebahkan
diri di tempat tidur karena banyak PR yang harus diselesaikan, tiba-tiba Nari
menelponku. Ia membicarakan kerumunan orang-orang tadi siang di sekolah. Aku
berusaha menenangkan hatinya supaya tidak membahas hal itu lagi. Ia langsung menutup
teleponnya. Ada ketidakpuasan dari Nari atas jawaban aku tadi.
“Ah sudahlah…!” Akupun berdoa untuk
tidur.
Pagi yang cerah, seperti biasa aku
berangkat ke sekolah jam 06.15 pagi. Waktu yang cukup bagiku untuk perjalanan dari
rumah ke sekolah. Nari mengendarai motor
kesayangannya lengkap dengan helm, jaket dan surat-surat kendaraan. Ia sudah
sampai di depan rumahku.
“Hai…! nunggu lama ya…”
“Lumayan 10 menit”
“Sorry…aku bangun agak telat”.
Dalam seminggu ini aku selalu berangkat
ke sekolah bareng Nari. Lumayan, pengeluaran ongkosku berkurang. Nari tidak
keberatan, toh rumah aku searah dengan arah keberangkatannya ke sekolah, jadi
tidak menyita waktu perjalanannya.
“Makasih ya Ri…”
“Untuk apa?”
“Untuk jemputannya”
“Bukannya aku udah bikin kamu nunggu”
“nggak pa-pa nunggu dikit asal gak
kesiangan…”
Sesampainya di pintu gerbang sekolah,
kami bertemu Dina sahabat Nari. Ia acuh. Sudah seminggu ini dia selalu
menghindar. Setiap Nari mampir ke
rumahnya untuk pergi bareng ke sekolah dia sudah berangkat lebih dulu. Sampai
saat ini Nari tidak tahu alasan apa yang menyebabkan dia bersikap seperti itu.
“Ri…aku lihat Dina ke arah sana…!”
Aku menunjuk ke arah dimana Dina berjalan. Dina
langsung gabung dengan teman-temannya.
“Ran aku ingat…. sebagian dari orang-orang
itu adalah orang yang waktu itu ….”. Nari tidak melanjutkan omongannya, namun aku
sudah tahu orang-orang itu adalah sekelompok orang yang membuat Nari merasa
tersinggung.
“Ayo kita masuk
kelas, sebentar lagi bel masuk” Aku mengajak Nari.
Hari ini, guru matematika memberikan
tugas bentuk project dan harus diselesaikan oleh kelompok. Entah secara
kebetulan atau tidak yang jelas guru matematika membagi siswa menjadi beberapa
kelompok. Aku sekelompok dengan Nari dan 2 orang lainnya.
“Tugas kelompok diselesaikan di rumah. Besok
draft untuk tugas project nya harus dikumpulkan!”
Karena waktu tidak cukup akhirnya bu
guru menugaskan untuk dilanjutkan di rumah. Kami berunding dan sepakat untuk
mengerjakan tugas bersama di rumahku. Dengan spontan Nari menelpon minta izin
mamanya untuk menginap di rumahku. Dalam hal ini orang tua Nari tidak bermasalah,
mereka selalu mengijinkan selama memang itu baik bagi Nari.
**
Bermalam di rumahku ternyata memberi
kesan tersendiri bagi Nari. Keseharian kehidupan keluargaku memang harmonis. Kami menjalani
hari-hari dengan penuh kebahagiaan. Sore hari kami sekeluarga berkumpul,
bercengkrama dan berdiskusi bersama di ruang keluarga. Kehangatan sungguh terasa
di ruang itu. Ruang keluarga yang
berukuran 5x 4 meter persegi, bukan sebuah ukuran yang luas jika dibandingkan
dengan ruang keluarga di rumah mewah milik Nari. Dari tempat ini terhubung
ruang tamu, kamar utama dan dapur. Ayahku merancang khusus ruang ini meskipun
tidak luas tapi dibuat nyaman, bukan dalam hal interior. Ia menghiasi ruang ini
dengan membiasakan anggota keluarga untuk selalu kumpul, berbagi ataupun
bercerita dan saling mencurahkan kasih sayang. Apalah artinya sebuah ukuran
besar kalau di dalamnya tanpa kemesraan, dimana anggota keluarga sibuk di ruang
kerja masing-masing.
“Beda jauh dengan yang aku alami. Orang
tuaku kedua-duanya sibuk”. Begitu ungkap Nari.
Nari terlihat bengong. Entah apa yang ia
pikirkan
“Nari, ngelamun ya…tugas nih belum
beres”
“Aku iri sama kamu….iri sama keluarga
kamu juga.
“Alhamdulillah Ri.., kami saling
mempertahankan kemesraan satu sama lain.
“Ayo kita lanjutin biar cepet kelar” Aku
menyemangati Nari.
“Rani jangan lupa teman-teman kamu ajak
makan ya.., hidangan sudah siap tuh !”
“Iya bu...”
Adzan magrib berkumandang di Mesjid
At-Taqwa, mesjid yang terletak sekitar 300 m dari rumahku. Suara muadzin yang
begitu indah seolah menyadarkan manusia untuk sejenak menghentikan aktivitasnya
dan segera menghadap Illahi Robbi, merenungi apa yang ia perbuat pada siang
hari untuk diperbaiki esok harinya.
Sholat magrib aku tunaikan secara
berjamaah bersama teman-teman. Sebagai imam adalah ibuku. Ayah selalu menunaikan
sholat magrib di masjid namun terkadang di rumah untuk mengimami kami
sekeluarga. Kebersamaan yang begitu indah. Tak perlu muluk-muluk berwisata ke
luar kota untuk menikmati hidup. Melaksanakan sholat berjamaah contoh
kebersamaan yang sangat indah dan lebih bermakna. Kebersamaan meraih cinta dan
kasih-Nya. Dengan kebersamaan kebahagiaan bisa diraih. Kebahagiaan bukan di
gedung yang mewah atau tempat yang indah, tapi dihati kita.
“Rani, aku bersyukur Allah telah
memberikan kedamaian seperti ini yang belum pernah aku rasakan sebelumnya
meskipun hanya saat ketika di rumah ini”.
“Huuss….jangan gitu, nanti juga kamu
akan menemukan kedamaian di rumah kamu sendiri”.
“Ah….rasanya nggak mungkin, itu amat
jauh.”
“Alhamdulillah akhirnya kelar juga tugas
kita”
Setelah menyelesaikan tugas dari jam 3
sore kami baru tidur jam 11 malam, untungnya tidak ada tugas lain untuk esok.
Jadi kami fokus mengerjakan tugas matematika.
Pagi hari setelah sholat subuh Nari
pulang ke rumahnya untuk ganti pakaian, maklum seragam yang dipakainya seharian
tidak lepas kecuali ketika mau tidur ia baru memakai baju yang aku pinjami.
**
Waktu sudah menunjukkan jam 06.40, namun
Nari belum muncul. Ada apa dengan Nari. Aku bingung. Seandainya aku tidak segera
berangkat aku bakal kesiangan. Akhirnya aku memutuskan untuk berangkat sendiri.
Bel masuk sekolah sudah berbunyi. Nari
belum muncul juga. Aku mulai berpikir tidak enak karena tidak biasanya Nari membolos
sekolah lagipula ia kan tidak apa-apa ketika pulang dari rumahku.
Pelajaran pertama jam ke-1 dan 2 sudah
selesai, tepat jam ke-3 Nari muncul. Ia masuk kelas dengan gayanya yang khas. Cuek. Kasihan
Nari…hidupnya serba kecukupan tapi sepertinya kekurangan akan kasih sayang. Ia
merupakan anak satu-satunya dari keluarga yang kaya dan terpandang di kota
tempat tinggalku. Semua orang tahu siapa orang tua Nari.
“Rani…ke kantin yu!”Aku sedang melamun
tiba-tiba orang yang ku lamunkan ada di depanku. Waktu istirahat telah tiba.
Kami duduk di pojok kantin untuk
menikmati jajanan. Seseorang menghampiri Nari. Orang itu menoleh ke arahku sambil
berbisik di telinga Nari, tapi cukup terdengar oleh ku.
“Siapa yang akan jadi sasaran
berikutnya. Kasian lho, jangan dia orangnya..”
Belum juga menghabiskan makanan
tiba-tiba Nari bangun dari tempat duduk dan berlari. Aku bingung. Apa yang terjadi.
Aku segera mengejar Nari. Iamasuk kelas, mengambil tasnya.
“Rani…jauhi aku! kalau kamu tidak mau
jadi korbanku…” Ucap Nari setengah berteriak. Ia menangis kemudian meninggalkan
kelas.
Semenjak kejadian itu tidak ada kabar
tentang Nari. Hari ini berarti hari ke-2 Nari tidak masuk sekolah. Aku memutuskan
pulang sekolah nanti harus ke rumah Nari. Teman macam apa aku, membiarkan teman dalam
kesulitan.
Belum sampai di rumah Nari, di
perjalanan aku melihatnya. Ia bersama seorang laki-laki yang tidak aku kenal. Mereka
terlihat mesra. Nari yang biasanya membawa motor sendiri kali ini dibonceng
oleh laki-laki itu. Nari memeluk erat pinggang laki-laki itu. Aku memutuskan
untuk kembali. Percuma kalau aku tidak bertemu dengan Nari.
Esoknya aku hendak ke rumah Nari selepas
pulang sekolah, namun lagi-lagi Nari terlihat sedang bergandengan mesra dengan
seorang laki-laki di kafe depan sekolah. Kali ini hampir semua teman-teman sekolah
melihatnya, tanpa kecuali Dina. Ada yang aneh. Itu bukan karakter Nari. Tak lama
keduanya pergi. Entah ke mana..
Tak hentinya aku
memikirkan keanehan yang terjadi pada Nari. Akhirnya aku memutuskan untuk ke
rumah Nari menemui bibi. Sesampainya di rumah Nari, si bibi tidak aku temui.
Entah apa yang mendorongku sehingga aku berani untuk masuk ke dalam rumah tanpa
permisi.
“Lepaskan aku…”
Tiba-tiba aku mendengar teriakan
Nari. Aku berlari ke arah sumber suaradan ternyata di ruang keluarga Nari sedang
berusaha berontak dari pelukan laki-laki itu. Nari memang anak yang tomboy
namun ia tidak berdaya untuk melawan cengkraman laki-laki kuat yang bermaksud
tak senonoh itu. Spontan aku meraih benda di sampingku. Guci aku pukulkan pada
punggung laki-laki itu. Ia kesakitan dan menoleh ke arahku, kemudian ia
melarikan diri ke luar rumah karena teriakan minta tolongku. Nari menangis dan
memelukku. Ia masih shock. Aku tidak berani meninggalkannya sendirian di rumah. Aku
harus menemani Nari sampai si bibi datang.
“Bibi kemana sih?”Aku sedikit kesal
padanya.
“Bibi ke mini market. Bibi disuruh beli
buah sama temennya non Nari. Bibi juga heran buah kan masih ada. Emangnya ada apa
Non?”
“Ya udah, ga ada apa-apa. Lain kali
jangan meninggalkan non Nari sendirian”
“Maafkan bibi non!”
“Biarkan non Nari istirahat ya bi!.Awas
jangan ditinggalin lagi!”
Nari sudah tenang. Ia sudah bisa
istirahat tidur. Aku harus pulang, khawatir ibu mencemaskanku. Ketika hendak
berlalu, Nari memanggilku.
“Rani…mau nggak nemenin aku, please….!”
Aku tidak tega menolak permintaan
Nari. Ia memelas seperti anak kecil. Segera aku menghubungi ibu minta izin
menginap di rumah Nari.
“Ran, di ruang keluarga ini…”
Tanpa aku minta akhirnya Nari mulai
membuka kisahnya. Berawal di ruang keluarga yang luas dan mewah, namun sepi,
tidak ada kehangatan. Di ruangan ini Nari pernah memergoki papanya sedang
bercumbu dengan wanita lain ketika ibunya sedang di luar kota.
“Wanita yang papa sebut sebagai rekan
kerja ternyata adalah selingkuhannya. Semenjak itu aku kecewa sama papa”.
Aku tertegun mendengar cerita Nari. Ia
menceritakan juga kejadian keterlambatannya ke sekolah dan baru muncul jam ke-3
pelajaran. Di ruang keluarga ini juga Nari melihat bayang-bayang dua orang
bermesraan. Ia pikir papanya dengan wanita lain, tapi ternyata mamanya dengan
pria lain.
“Dadaku bergemuruh menahan rasa marah,
kecewa dan malu. Aku segera menghindar tidak jadi masuk rumah sampai laki-laki
tersebut pulang”.
Nari berangkat ke sekolah usai terlibat
cekcok dengan mamanya. Nari datang dengan gayanya yang khas tomboy dan cuek seolah
tidak ada masalah. Aku tak menyangka Nari punya banyak masalah. Selama ini ia
terlihat tegar. Dan di ruang ini pula Nari hampir terenggut
kesuciannya. Ruang keluarga ini ternyata menyimpan kisah buruk buat Nari.
“Mungkin kamu juga bingung Ran, kenapa
aku bersama laki-laki tadi.
Aku ingin membuktikan pada semua orang
bahwa aku masih normal, aku tidak menyukai sesama jenis yang selama ini jadi
bahan perbincangan teman-teman di sekolah”.
Kekecewaan Nari berujung pada tindakan
yang dapat mengancam keselamatan dirinya sendiri. Dia mengambil keputusan tanpa
memikirkan akibatnya, hanya untuk sebuah pembuktian yang tidak perlu.
“Ri…kejadian ini harus menjadi
pelajaran. Kamu tetap harus bersekolah. Tidak harus kamu yang membuktikan pada
orang-orang itu, biarlah waktu yang akan membuktikan semuanya, termasuk pada
sahabatmu Dina. Aku nggak menyangka seorang sahabat tega menyebarkan tuduhan tanpa
dasar itu”
“Itu karena kesalahanku, Ran. Aku berlaku
kasar pada teman laki-lakinya ketika aku memergoki mereka sedang pacaran. Aku
punya alasan. Aku tahu laki-laki itu suka gonta-ganti pacar. Aku takut Dina menjadi
korbannya.Tapi ternyata tindakanku disalahartikan”.
“Coba aku tebak, laki-laki itu orang
yang menghampiri kamu di kantin waktu itu kan?”
“Iya”
“Dina akan sangat menyesal kehilangan
sahabat baik seperti kamu, Ri”
“Dan aku mendapat
sahabat sejati seperti kamu, Rani”
“Maafkan mama sayang…”
”Maafkan papamu juga, Nak!”
Tanpa kami sadari mereka mendengarkan
cerita sudah dari tadi. Mereka datang setelah di telepon oleh bibi. Akhirnya
mereka menyadari bahwa anak adalah harta yang tak ternilai. Mereka mulai
memperbaiki hubungan keduanya.
“Rani, kamu benar aku mendapatkan
kebahagiaan di ruang keluarga ini, di rumahku sendiri”.
Akhirnya Nari dan keluarganya selalu menghabiskan waktu bersama, bercengkrama dan berbagi kebahagiaan di setiap akhir pekan. Di ruang itu....ruang keluarga.
***