Kamis, 17 Maret 2016

"Mendidik Mandiri Pada Anak: Beri Ia Sebuah Tanggung Jawab"

By: Ida Indiana, S.Pd
Guru SMKN 1 Sumedang



B
eberapa bulan ke belakang, tahun ajaran bagi mahasiswa baru telah dimulai, pada momen itu pula saatnya bagi para orang tua untuk mulai melepaskan anak-anaknya dalam menentukan tujuan hidup mereka sekaligus mulai mempercayakan kepada mereka untuk bisa mengurus diri mereka sendiri.



Disadari atau tidak oleh para orang tua, terkadang mereka memperlakukan anak-anaknya seolah merupakan sosok individu yang masih butuh perlakuan ekstra dari mereka. Mereka lupa akan perkembangan psikologis yang secara alamiah akan terbentuk sejalan dengan pertambahan usia anak. Para orang tua masih menganggap bahwa anaknya masih kecil, bahkan anak usia 18 tahun pun masih dianggap sebagai bocah ingusan.Mereka harus mulai menyakinkan diri sendiri bahwa anak-anaknya sudah mulai memasuki dunia sosial yang tingkatannya lebih tinggi. Sangat wajar apabila orang tua merasa khawatir dunia luar sana akan mempengaruhi secara negatif terhadap pergaulan anak-anak mereka. Kekhawatiran orang tua itu penting untuk mengontrol perilaku anak namun jika berlebihan akan menjadikan anak seorang anak yang manja.


Memberikan sebuah tanggung jawab pada anak adalah bagian dari mendidik anak untuk mandiri, apalagi untuk anak usia remaja akhir atau menjelang dewasa (dewasa awal). Aspek-aspek perkembangan yang dihadapi usia mahasiswa sebagai fase usia dewasa awal (Santrock, 1995 : 91-100) dalam Sutriani 2012 adalah: salah satunya “Perkembangan sosio-emosional”.  Menggambarkan hubungan sosial individu dengan lingkungannya yang terdiri dari 3 fase yaitu fase pertama (menjadi dewasa dan hidup mandiri), fase kedua (pasangan baru yang membentuk keluarga baru (Goldrick, 1989)), dan fase ketiga (menjadi keluarga sebagai orang tua dan memiliki anak.

Menanamkan tanggung jawab pada anak amat penting, karena orang tua tidak akan bisa terus menerus melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Lingkungan sosial anak yang semakin luas menjadi salah satu faktornya. Para orang tua juga harus mempercayai akhlak dan perilaku anak-anaknya. Mungkin sesekali kita bisa memantau perkembangan anak, walau bagaimanapun usia dewasa awal berdasarkan ciri-cirinya akan mengalami Masa ketegangan emosional  di mana mereka akan memasuki wilayah baru dengan permasalahan yang baru pula.


Ciri-ciri umum perkembangan fase usia dewasa awal (Hurlock, 1991: 247-252)dalam Sutriani (2012) salah satunya yaitu “Masa pengaturan” (mulai menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa). Menurut Ni Made Sutriani (Karakteristik Perkembangan Masa Dewasa: 2012), “Fase dewasa awal jika dikaitkan dengan usia mahasiswa pada fase ini menunjukkan bahwa peran, tugas dan tanggung jawab mahasiswa bukan hanya pencapaian keberhasilan akademik, melainkan mampu menunjukkan perilaku dan pribadi untuk mengeksplorasi berbagai gaya hidup dan nilai-nilai secara cerdas dan mandiri, yang menunjukkan penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan sosial yang baru sebagai orang dewasa”.


Berdasarkan ciri-ciri umum perkembangan fase usia dewasa awal tersebut, alangkah baiknya kita sebagai orang tua mengantar mereka menuju dunia sosial yang baru dengan memberikan sebuah tanggung jawab.  Usia remaja akhir (18-21 tahun) bukanlah anak-anak baik bentuk badan, cara berfikir ataupun bertindak tapi bukan pula seorang dewasa yang telah matang dalam menentukan sikap dan mengambil keputusan. Mulailah kita mempercayai mereka, biarkan mereka sedikit demi sedikit belajar mandiri dan mengatur urusannya sendiri. Dengan demikian para orang tua sudah memupuk keberanian anak.Memupuk keberanian anak dengan memberikan kepercayaan akan melahirkan kepercayaan daridiri sanganak kepada orang tuanya, sehingga akan melahirkan pula anak yang amanah yang tumbuh kembangnya berjalan normal. Anak dengan tumbuh kembangnya yang berjalan normal akan sanggup menyingkirkan rintangan-rintangan yang mereka hadapi.

Sebagai cerminan buat kita semua khususnya saya penulis, ingin berbagi pengalaman ketika memaksakan kehendak kepada anak untuk masuk sekolah sesuai dengan keinginan kami sebagai orang tua, dan itu merupakan kesalahan terbesar kami. Kami telah mengurangi kepercayaan terhadap anak. Anak tidak dilibatkan dalam mengutarakan pendapatnya sekolah mana yang akan dipilih. Al hasil anak kami berontak dengan aksinya yang selalu kabur dari sekolah. Akhirnya kami pindahkan ia ke sekolah yang sesuai dengan keinginannya. Sang anak pun bertanggung jawab terhadap konsekuensi pilihannya itu.Mungkin ini sebagai salah satu contoh bentuk ketidakpercayaan pada anak.

Mendidik anak dengan metode ketegasan perlu tetapi jika berlebihan akan memunculkan seorang anak yang radikal dan kami akui itu. Kami pantas bahwa kami bisa dikatakan telah mengurangi kepercayaan diri anak, tidak memberikan mereka kesempatan untuk menjadi “orang” yang seharusnya dilibatkan dalam beberapa urusan, yang pendapatnya didengar dan dihargai, yang seharusnya kita jadikan mereka merasa bahwa mereka dipercaya layaknya orang dewasa. Kami mulai menyadari untuk melibatkan anak kami dalam pengambilan keputusan terlebih yang menyangkut dirinya sendiri.


Dengan mempercayai anak melalui sebuah tanggung jawab, anak akan tumbuh dengan kekuatan karakter yang dimilikinya sehingga menjadi pribadi yang mandiri  dan penuh percaya diri. Kepercayaan yang kita tunjukkan amat penting bagi perkembangan dan kematangannya demi mencapai kesuksesannya.***








Tidak ada komentar:

Posting Komentar