Sabtu, 13 Mei 2017

Di Ujung Penantian Ia Bersimpuh

Haruskah ia bahagia....
Sementara kondisinya saat ini sangat abstrak kalau memang bisa dianalogikan.

22 tahun mahligai yang telah dibangun dengan rasa dan karsa runtuh tak menyisakan puing harapan. Kemanakah si pembangun mahligai tersebut...sudah tak pedulikah...?
Lelah.....ternyata ia telah lama merasa lelah menyangga beban mahligai. Sungguh sayang...!
Mungkin itu yang bisa dilontarkan. Kenapa harus di saat ini. Tidakkah ia ingin mempertahankannya...
Sebenarnya apa yang ia inginkan...???
Tak mudah baginya memilih, dua pilihan yang ia pahami betul konsekwensinya. Ia harus menelan buah simalakama. Sungguh berat bagi siapapun, seandainya berada di posisinya.
Haruskah ia mempertahankan sebuah mahligai meski dirasa menyakitkan ataukah ia harus perjuangkan rasa yang selama ini ia abaikan dan membiarkan mahligai runtuh. Sebuah dilema.
Lama ia telah membangun sebuah mahligai. Selama itu pula ia lebih memilih untuk mengabaikan rasa dan berusaha menegakkan mahligai agar terlihat kokoh. Namun bak fatamorgana, kekokohan mahligainya tidak dapat ia rengkuh, hanya terlihat, tak dapat dirasakan.
Di penghujung asa dengan sangat berat ia tempuh pilihan kedua. Pengambilan keputusan yang berimbas pada keruntuhan sebuah mahligai, namun itu adalah kenyataan bukan fatamorgana.
Ia berani mengorbankan sebuah mahligai untuk menyembuhkan rasa. Ia merasa optimis dengan rasa yang nyaman akan dapat membangun mahligai, berapapun banyaknya dan semegah apapun bentuknya.
Di ujung penantian ia bersimpuh memohon ampunan dan bersyukur, serta optimis membangun mahligai nan bahagia.

Untuk putriku...hendaklah bangun sebuah mahligai di atas kepercayaan dan pengertian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar